Wednesday, February 3, 2010

Ternyata Wortel Tak Bisa “Menyembuhkan” Mata Minus

Pernahkah Anda mendengar pernyataan “Wortel bisa menyembuhkan mata minus.”? Ternyata itu cuma mitos. Termasuk juga pendapat yang mengatakan memakai kacamata terus-terusan akan membuat minus bertambah banyak.
Menurut penelitian ilmiah, wortel memang mengandung banyak vitamin A, tapi kesalahan sistem optik pada mata tidak bisa diperbaiki dengan vitamin A. Ibarat kamera yang lensanya sudah tidak fokus. Film dari merek berkualitas pun akan merekam gambar yang buram jika lensanya tidak sempurna. Dijelaskan dr. Hadi Prakoso W., Sp.M., ”Orang menganggap vitamin A berperan dalam fungsi penglihatan manusia, tapi sebenarnya vitamin A lebih banyak berperan pada metabolisme sel-sel saraf yang ada di retina. Jadi, banyak makan wortel pun tak dapat mencegah jumlah minus, plus, atau silinder lensa kacamata anak," ujar optalmologis dari Jakarta Eye Centre ini.
Dst …
JIKA SETELAH lewat usia 18 tahun, minus tetap bertambah, maka penyebabnya tak lain adalah faktor penurunan fungsi sistem optik dan retina pada mata yang bersangkutan. Bisa juga penyebabnya adalah miopia patologis atau keadaan dimana bola mata terus memanjang. Seharusnya, menurut teori, di usia 18 tahun perkembangan bola mata sudah berhenti.
Ada dugaan, miopia patologis ini bisa diperparah dengan kebiasaan banyak membaca. Di saat membaca, otot-otot di sekitar bola mata dikondisikan untuk mengalami kontraksi atau penegangan. Kalau kontraksi otot mata berlangsung terus, maka bola mata bisa semakin memanjang. "Hanya saja penelitian ini dilakukan pada para penderita miopia, bukan pada orang dengan mata normal. Jadi tak bisa dikatakan banyak membaca akan membuat orang jadi berkacamata," ujar Hadi menegaskan.
Kesimpulannya, kacamata hanya berfungsi membantu agar mata dapat melihat lebih jernih dan jelas, bukan untuk mencegah atau justru menambah kelainan yang ada. Juga, apakah kacamata itu dipakai atau tidak, maka tidak akan memberi pengaruh. Hanya saja tentu, kalau kacamata dipakai, anak akan melihat dengan jelas, sedangkan kalau tidak, penglihatannya tetap buram.
Artikel lengkapnya dapat Anda baca di www.balita-anda.com
Continue Reading...

Saturday, January 30, 2010

Multi Tugas pada Media secara Kronis Mempersulit Fokus

Penelitian menemukan bahwa orang-orang yang melakukannya banyak bernasib buruk pada tes konsentrasi. Anda mungkin berpikir bahwa e-mail, mengetik, berbicara di telepon dan mendengarkan musik sekaligus membuat Anda lebih efisien, tetapi penelitian baru menunjukkan hal sebaliknya. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences edisi online Agustus 2009, memroses sekaligus beberapa aliran informasi dari berbagai sumber media adalah sebuah tantangan bagi otak manusia.

Penelitian baru menunjukkan bahwa siswa yang paling bisa melakukan multi tugas ternyata kurang mampu untuk fokus dan berkonsentrasi, bahkan ketika mereka mencoba untuk melakukan satu tugas pada satu waktu. Media multi tugas termasuk melakukan satu atau lebih kegiatan sekaligus, termasuk e-mail, menelusuri Web, menulis di komputer, menonton TV, mengetik, bermain video game, mendengarkan musik atau berbicara di telepon. "Pikiran manusia tidak benar-benar dibangun untuk memproses berbagai aliran informasi," kata penulis studi Eyal Ophir, seorang peneliti di Stanford University's Communication Between Humans and Interactive Media Lab. "Kemampuan untuk memproses aliran informasi kedua benar-benar terbatas."

Para peneliti telah meminta 262 mahasiswa mengisi kuesioner untuk menentukan seberapa sering mereka melakukan multi tugas. Siswa kemudian diminta untuk menyelesaikan serangkaian tes yang mengukur kontrol kognitif, atau proses yang mengarahkan perhatian otak, yang memutuskan bagian mana harus mengalokasikan sumber daya mental pada saat tertentu dan menentukan apa yang penting dari banyak bit informasi yang diterima.

Siswa yang berada di paling atas spektrum multi tugas media melakukan lebih buruk pada semua tes daripada mereka yang paling sedikit melakukan multi tugas, meskipun para siswa memiliki kemiripan inteligensia secara keseluruhan, termasuk nilai SAT.

Artikel lengkapnya dapat Anda baca di www.kalbe.co.id.
Continue Reading...

Tuesday, January 26, 2010

Ozone Hole Healing Could Cause Further Climate Warming

The hole in the ozone layer is now steadily closing, but its repair could actually increase warming in the southern hemisphere, according to scientists at the University of Leeds.
The Antarctic ozone hole was once regarded as one of the biggest environmental threats, but the discovery of a previously undiscovered feedback shows that it has instead helped to shield this region from carbon-induced warming over the past two decades.
High-speed winds in the area beneath the hole have led to the formation of brighter summertime clouds, which reflect more of the sun's powerful rays.
"These clouds have acted like a mirror to the sun's rays, reflecting the sun's heat away from the surface to the extent that warming from rising carbon emissions has effectively been cancelled out in this region during the summertime," said Professor Ken Carslaw of the University of Leeds who co-authored the research.
"If, as seems likely, these winds die down, rising CO2 emissions could then cause the warming of the southern hemisphere to accelerate, which would have an impact on future climate predictions," he added.
The key to this newly-discovered feedback is aerosol -- tiny reflective particles suspended within the air that are known by experts to have a huge impact on climate.
Greenhouses gases absorb infrared radiation from the Earth and release it back into the atmosphere as heat, causing the planet to warm up over time. Aerosol works against this by reflecting heat from the sun back into space, cooling the planet as it does so.

Beneath the Antarctic ozone hole, high-speed winds whip up large amounts of sea spray, which contains millions of tiny salt particles. This spray then forms droplets and eventually clouds, and the increased spray over the last two decades has made these clouds brighter and more reflective.
As the ozone layer recovers it is believed that this feedback mechanism could decline in effectiveness, or even be reversed, leading to accelerated warming in the southern hemisphere.
"Our research highlights the value of today's state-of- the-art models and long-term datasets that enable such unexpected and complex climate feedbacks to be detected and accounted for in our future predictions," added Professor Carslaw.
The Leeds team made their prediction using a state-of-the-art global model of aerosols and two decades of meteorological data. The research was funded by the Natural Environment Research Council's Surface Ocean-Lower Atmosphere Study (UK SOLAS) and the Academy of Finland Centre of Excellence Programme.
Sumber: ScienceDaily.com
Continue Reading...

Waktu Tidur Awal Membantu Remaja Melawan Depresi dan Keinginan Bunuh Diri

Sebuah studi telah dilakukan untuk mencari hubungan antara waktu tidur remaja dengan rasa depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Seperti yang ditulis dalam artikel ilmu pengetahuan ScienceDaily, ternyata remaja yang memiliki waktu tidur awal memiliki kemungkinan yang kecil menderita depresi dan berpikir untuk bunuh diri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja yang waktu tidurnya tengah malam atau waktu tidurnya lambat memiliki kemungkinan menderita depresi sebesar 24 persen. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa 20 persen dari remaja tersebut lebih mungkin bunuh diri.
James E. Gangwisch, PhD, asisten profesor di Columbia University Medical Center di New York, NY, mengatakan bahwa hasil penelitian memperkuat argumen bahwa durasi tidur singkat dapat memainkan peran dalam etiologi depresi.
"Hasil kami konsisten dengan teori bahwa tidur yang tidak memadai merupakan faktor risiko depresi, bekerja dengan faktor risiko lain dan faktor pelindung menyebabkan berbagai kemungkinan pengembangan gangguan mood ini," kata Gangwisch. "Kualitas tidur yang memadai bisa menjadi ukuran preventif terhadap depresi dan pengobatan untuk depresi."
Data dikumpulkan dari 15.659 remaja dan orang tua mereka yang berpartisipasi dalam National Longitudinal Study of Adolescent Health berbasis sekolah, perwakilan nasional, dan berbasis mahasiswa Amerika dari kelas tujuh hingga 12 pada tahun 1994 sampai 1996. Tujuh persen dari peserta (1.050) ditemukan memiliki depresi dan 13 persen (2.038) melaporkan bahwa mereka serius berpikir tentang bunuh diri selama 12 bulan.
Ada sejumlah mekanisme bahwa kurang tidur kronis dapat berkontribusi terhadap depresi dan bunuh diri. Kekurangan tidur dapat mempengaruhi modulasi respon otak secara emosional terhadap rangsangan permusuhan; menghasilkan kemurungan yang menghambat kemampuan untuk mengatasi stres sehari-hari dan mengganggu hubungan dengan teman sebaya dan orang dewasa; dan mempengaruhi penilaian, konsentrasi dan pengendalian impuls.
Para peneliti juga menyarankan bahwa perilaku orang tua dalam mendidik remaja tentang cara tidur yang sehat dan higienis serta mengubah kebiasaan tidur yang buruk bisa membantu mencegah depresi dan pikiran untuk bunuh diri.
Continue Reading...
ads ads ads
 

The Saintis' Blog Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template